Pasung Jiwa





"Orang yang tak waras adalah orang yang sepenuhnya memiliki dirinya. Ia tak akan mau mengikuti apa yang dikatakan orang lain. Ia tak akan pernah sekadar ikut-ikutan hanya agar dianggap normal. Orang yang punya kewarasan adalah orang-orang yang sepenuhnya punya kesadaran. Ia akan menolak dan melawan."

Membaca novel ini membuatku merinding betapa hebatnya mba Okki Madasari menggambarkan sosok Sasana yang sedang mengalami depresi. Perasaan sakit yang dirasakan Sasana benar-benar terasa olehku sebagai pembaca. Ketakutan, kecemasan, dan hal-hal lain yang oleh orang luar yang tidak merasakannya tersampaikan dengan jelas. 

Sasana adalah seorang anak yang mengalami berbagai macam hal sejak ia masih kecil. Fikirannya sudah bergerak kesana kemari sejak ia kecil. Mulai dari tubuhnya, orang tua, teman sekolah, hingga hal menyakitkan saat ia tumbuh dewasa. 

Sasana kecil sudah merasakan bahwa ia tidak pernah menyukai apa yang orangtuanya tuntun padanya. Orang tua Sasana selalu menyuruhnya main piano hingga ia bosan hingga ia tak punya rasa apapun saat memainkannya. Ia merasa terkekang dengan keinginan orangtuanya.

Hingga pada akhirnya dia menemukan sesuatu hal yang baru dan menarik hatinya, yaitu dangdut. Tubuh dan fikirannya memilih dangdut sebagai hal yang membuatnya menemukan diri sendiri. Kebahagiaan, kebebasan dan hal yang selama ini ia cari. Tubuhnya bergoyang dengan bebas mengikuti irama dangdut yang mengalun, irama baru yang membuatnya terbuai dan menyenangkan.

Dangdut tumbuh dalam diri Sasana hingga ia mendapatkan nama panggung Sasa. Sasa menjadi biduan dengan goyangan yang membuat semua orang memfokuskan pandangan matan padanya. Dengan beragam pandangan dan teriakan yang membuatnya semakin bersemangat untuk bergoyang. 

Kutang merah dan sepatu tinggi berwarna merah memberikan semangat dan kebanggaan tersendiri buatnya. Lipstik dan olesan bedak tipis di mukanya, adalah hal yang sudah lama ia dambakan. Ia bisa merasakan kecantikan dan kelembutan pada dirinya seperti halnya Melati, adik perempuan yang membuat ia selalu iri dengan penampilan dan kecantikannya. Melalui Sasa, ia menemukan dirinya yang seutuhnya. 

Hidup sebagai Sasa tidak lantas membuat orang menghormati keberadaannya. Kutang merah yang ia kenakan, membuat orang yang melihatnya tergoda untuk meremas dada kekarnya. Bahkan tentara yang menangkapnya menjadikan ia mangsa empuk untuk nafsu biadab mereka. Memandangnya bukan sebagai manusia utuh, membuatnya masuk ke dalam tempat yang memenjarakan tubuhnya dan memanggilnya dengan sebutan bencong.

To be continued...
Read more

Tulisan Ramadhan 1 | Apa isi Timeline Sosial Mediamu?



Buka2 timeline kalis, stalking media sosioalnya membuat saya sampai lupa waktu. Saya terus buka tulisan2nnya dan status2 pendeknya yang menarik. Pemikiran cerdas dan guyonan dia tentang kehidupan membuat Kalis terlihat sangat optimis.

Ya, beberapa bulan terakhir teman mengenalkan saya pada Kalis mardiasih, seoramg penulis yang fokus pada persoalan2 perempuan. Kalis orang Rembang, yang ternyata juga istri dari penulis favorit saya di Mojok, Agus Mulyadi. Sering sekali terjadi kebetulan seperti ini dalam hidup saya.

Kembali lagi ke stalking sosmed Kalis. Jadi, dia sosial media Kalis gencar menyuarakan segala pemikirannya tentang isu-isu perempuan. Yang membuat saya sadar banyak hal. Kalis membuka fikiran saya yang setelah keluar dari kampus, fikiran saya kembali banyak di cekoki hal-hal di luar diri saya yang pengaruhnya cukup signifikan pada cara berfikir saya.

Membuka sosial media Kalis membuat saya bercermin dan malah ingat apa yang sudah saya lakukan selama ini untuk mengisi timeline hidup sendiri. Kalis membuat saya sadar, bahwa mengisi timeline kehidupan harus dengan hati2, tidak sembarangan.

Karena suatu saat pasti akan ada orang lain yang membuka timeline2 hidup kita. Dan sedikit banyaknya akan mempengaruhi perasaan mereka saat membuka timeline hidup kita. Apakah mereka akan iri, karena timeline kita hanya dipenuhi dengan postingan2 jalan2 dengan foto2 baju bagus dan cantik. Ataukah kita akan biarkan mereka ikut galau, karena isi timeline kita adalah gumaman2 hati yang tidak seharusnya diumbar. Ataukah mereka akan terinspirasi, karena isi timeline kita begitu penuh dengan hal2 yang bisa orang lain pelajari.

Tidak banyak orang yang seperti Kalis, yang berani bersuara dan menginspirasi tanpa dia sadari dia sedang menginspirasi banyak orang. Kuncinya yang sebenanrnya sudah banyak orang tahu, tapi tidak semua orang bisa menjalankannya, yaitu fokus dan konsisten.

Kalis menulis sejak ia kuliah, menulis di koran untuk memenuhi kebutuhan hidup selama kuliah. Kemudian ia terus menulis hingga sekarang. Sehingga satu cita2nya untuk menerbitkan buku di Mizan terwujud.

Kita bisa saja berlatar belakang berbeda dengan Kalis, tidak harus sama. Satu yang penting yang harusnya bisa kita tiru dari Kalis adalah konsistensi dan fokusnya pada apa yang sedang digeluti. Yang memang seringkali luput dari kehidupan saya.

Teringat pesan salah seorang senior Flads, teh Ai pernah berpesan "kalau kita bisa menjadi expert dan maksimal dalam bidang yang kita tekuni, uang akan mencari kita".

Rumah, 28 April 2020
Read more

Menikah Adalah Pilihan

Just thought at night sambil mendengarkan lagu lawas dari ibu kos..

Hidup di dunia patriarki kuat itu memang menyedihkan ya.
Di acara keluarga, ketemu teman lama yang sudah punya dua putra. Sedikit say Hi, habis itu nanya "mau kapan? (Nikah) masa mau gitu terus?"



Mostly pertanyaan yang didapatkan seputar urusan seperti itu, nikah nikah dan nikah. Bukan satu dua yang bertanya, banyak sekali.

Apakah pertanyaan 'kapan nikah' itu adalah kata2 motivasi? Motivasi agar saya bisa hidup dengan cara yang common  di suatu daerah tertentu. Saya tidak yakin itu motivasi. Atau pertanyaan tersebut benar2 kekhawatiran seorang teman karena teman lamanya belum juga hajatan?

Selebihnya saya lebih yakin kalau hal tersebut merupakan sindiran akan ketidakbiasaan yang saya miliki di dalam "budaya mereka". Budaya yang memang menempatkan kalau perempuan yang sudah mendekati usia 30an adalah mereka yang seharusnya sudah memiliki beberapa anak dan membangun sebuah rumah tangga. Bagi mereka, perempuan tidak usah sekolah tinggi, tidak usah berlaku sok seperti laki-laki yang ujung-ujungnya nanti juga bakal menyusahkan diri sendiri yaitu susah nikah.

Anggapan dalam masyarakatku yang masih memegang prinsip tersebut membuat banyak sekali perempuan di desa yang lebih memilih menikah ketimbang mencari pengalaman lain. Seperti misalnya bekerja ataupun sekolah.

I mean, kapan kita bisa mencoba merubah pertanyaan yang menjurus ke hal2 private seperti itu. Saya akan lebih senang ketika ditanya "apa kabar keluarga? Sehat?" "Oh kita udah lama yah ga ngobrol, seneng bisa ketemu lagi di momen kaya gini" atau "gimana di tempat kerja? Betah?" "Mau bikin karya apa lagi?"

Pertanyaan seperti itu akan jauuuh sekali saya dengar dari kelompok perempuan di kampung saya. Sakit memang, tetapi memang seperti itulah keadaannya. Ketika pandangan terhadap perempuan memang benar-benar masih sekadar sumur dan kasur. Ini memang zaman modern, tetapi tidak lantas membuat kepala manusia menjadi modern. Bahkan dengan smart-nya ponsel pun tidak lantas membuat manusia kita menjadi lebih smart.

Tidak bisakah kita saling memberikan motivasi sesama perempuan?

Mba kalis bilang :
Jangan jadi perempuan yang menormalkan kebiasaan menjatuhkan perempuan lain. Gimana cara untuk mengganti kalimat-kalimat buruk itu? Ganti dengan pertanyaan simpatik, "bagaimana kabarmu? Jangan sungkan buat bilang kalau ada yang bisa kubantu ya!". Kalau nggak bisa simpatik, maka belajar untuk diam. ðŸ˜Š

Bagiku, pernikahan bukan hanya sesuatu hal yang bisa dilakukan karena melihat orang lain sudah menikah. Pernikahan adahal ikatan yang sakral, dimana dua orang akan hidup bersama sampai akhir hayat, sehingga butuh sesuatu yang benar2 matang saat ingin menentukannya.

Pamarican, 14 Februari 2020
Read more

MARYAM : Suara Kaum Minoritas



Beberapa bulan terakhir, dunia sedang dirundung duka. Dimana sebuah virus baru mengganggu keberadaan manusia. Virus tersebut bernama virus covid-19. Mari kita berdoa bersama, semoga keluarga, sahabat, dan orang-orang yang dekat dengan kita dijauhkan dari penyakit tersebut. Amiiin

Akhir-akhir ini juga terjadi sebuah peristiwa dimana seluruh negara memberlakukan distance relations. Jaga jarak dengan manusia lain agar penyebaran virus bisa dicegah. Sehingga orang banyak menghabiskan waktu di rumah. Salah satunya aku, yang membaca buku Maryam.

Sebenarnya sudah lama ingin menyelesaikan buku Maryam karya Okki Madasari ini. Tetapi ternyata baru selesai kemarin. Dan buku ini memang seseru itu. Membacanya, membuat kita merasakan apa yang sebenar-benarnya kaum Minoritas rasakan.

Di Negaraku, pelabelan pada suatu kaum yang memang tidak merupakan kaum kebanyakan dinyatakan sesat. Penyesatan bahkan dilakukan oleh pemerintah yang notabene seharusnya menjaga rakyatnya. Dan label sesat yang diberikan oleh pemerintah itu, menghancurkan persaudaraan, rasa kepercayaan, dan rasa aman yang seharusnya dimiliki oleh setiap manusia Indonesia.

Keluarga Maryam adalah keluarga yang menganut Ahmadiyah sejak dari kakek buyut mereka. Tinggal di sebuah desa yang tentram dan damai. Rukun dengan tetangga yang memiliki perbedaan aliran. Mereka tidak mengganggu satu sama lain, bahkan mereka mengadakan pengajian yang berbeda tanpa ada masalah apapun.

Maryam merasakan, menjadi Ahmadiyah sudah menjadi hal yang sulit sejak ia kecil. Seringkali dibeda-bedakan, dan ia merasa ia harus lepas dari label agama sehingga orang tidak akan memandang ia berbeda. Dan itu ia lakukan, sehingga ayahnya murka dan ia kabur ke ibukota menikah dengan seorang lelaki yang bukan Ahmadi.

Kehidupan di ibukota yang tidak pernah memandang perbedaan agama dan aliran, membuatnya sedikit bisa bernafas lega. Bayang-bayang agama yang menjadikan ia sulit bergerak dan dikucilkan kini sudah tidak lagi menjadi bagian dari kehidupannya.

Tetapi gejolak batin, kerinduan kepada keluarga dan rasa bersalah yang besar membuat Maryam ingin pulang. Dia kembali kepada ibu bapaknya dengan penyesalan yang mendalam. Ia tahu, bahwa ayahnya kesulitan karena mereka terusir dari kampungnya, tidak lain karena Ahmadiyah di cap aliran sesat oleh pemerintah.

Maryam murka, merasa hidup mereka tidak mendapatkan keadilan yang semestinya. Tanah yang ditempati mereka adalah tanah yang perjuangkan dengan darah, keringat, dan air mata ayahnya dan kakeknya dulu. Kini mereka harus pergi dan terusir karena agama mereka dianggap sesat.

Pengusiran kedua terjadi setelah mereka mendapatkan pemukiman yang nyaman, hasil dari patungan dengan warga Ahmadiyah lain. Rumah mereka dibakar, orang-orang yang merasa tidak sesat melempar batu tanpa ragu. Hingga akhirnya, orang yang sedikit harus kembali menerima kepedihan tinggal di pengungsian. Selama 5 tahun tinggal di sebuah pengungsian yang disediakan oleh pemerintah.

Apakah ada mediasi? tentu saja Maryam dan keluarganya paling lantang menyuarakan apa yang mereka inginkan kepada pemerintah. Tetapi yang terjadi, pemerinta sekitar tidak bisa berbuat apa-apa Mereka merasa bahwa kaum yang banyak adalah yang paling benar. Dan Maryam serta Ahmadiyah yang lain diminta untuk bertaubat agar kembali ke jalan yang menurut kebanyak orang benar.

Baru pertama kali membaca karya Okki Madasari dan novel ini menggambarkan kepedihan kaum minoritas dengan sangat cerdas. Dan suara-suara seperti inilah yang seharusnya banyak diperhitungkan saat membuat kebijakan. Pelabelan pada sebuah agama yang memiliki aliran berbeda, seharusnya diperhitungkan dari sisi keamanan pemeluknya.

Seharusnya kita bisa melihat dari sisi orang yang terusir. Karena dengan terusirnya mereka, maka akan banyak hal yang terputus. Perekonomian sudah jelas, mereka tidak bisa lagi melanjutkan usaha yang sudah mereka rintis dan bangun dari awal. Persaudaraan apalagi, tetangga-tetangga yang pada awalnya tidak masalah dengan kepercayaan mereka, kini menjauh seperti melihat najis. Dan juga, anak-anak yang terusir, yang masa depannya masih sangat panjang harus merasakan pedihnya hidup di negara yang tidak menerima mereka.

Dari novel ini aku setuju bahwa, seharusnya negara tidak begitu campur tangan dengan urusan pribadi masyarakatnya, seperti agama. Biarkanlah agama berada di ranah privat. Karena setiap orang yang memeluk agama tersebut memiliki sejarah panjang yang tidak bisa mereka lepaskan begitu saja.

Pelabelan pada sebuah aliran keagamaan hanya akan membuat mereka menjadi manusia Indonesia yang akan merasa dikecualikan. Hak-hak hidup yang terampas, ternyata tidak semudah yang kita lihat. Mungkin karena kita kaum mayoritas jadi tidak banyak yang bisa kita rasakan dari terusirnya mereka. Tetapi, jika rasa kemanusiaan menyala dalam diri, apakah tega melihat tetangga kita terusir dengan sangat tidak adil di negara tempat mereka lahir?

Pamarican, 18 Maret 2020
Read more

30 Days Creatives #27 Belajar Tidak Menyalahkan orang Lain

Benar-benar sudah lama ya, apa kabar?

Hari ini aku mau menulis saja, tentang hal-hal yang akhir-akhir ini benar-benar sangat mengganggu fikiran. Sebuah perasaan dimana mungkin aku sedang beradaptasi di sebuah tempat yang rasanya masih baru, meskipun sudah lama.


Aku berada di lingkungan baru, dimana aku harus menyesuaikan diri kembali dengan keadaan-keadaan, dengan lingkungan dimana semuanya sudah berbeda. Aku juga harus kembali menggali diri sendiri dan memposisikan lagi diri. Dimana aku harus benar-benar menyesuaikan budayaku dengan budaya mereka. Dimana, aku akan terpengaruhi dan aku akan mempengaruhi. Dimana, kebiasaan yang sudah aku rubah di tempat lama, mungkin akan kutemukan lagi di tempat baru dan harus kembali aku hadang. Melelahkan? Memang iya.

Bagiku, tempat baru bukan tempat yang mudah untuk dihadapi. Dan iya, sekarangpun begitu. Aku harus menemukan hal lama yang sudah aku hindari di tempat baru. Hal lama itu, adalah 'Menyalahkan Orang Lain'. Ya, hal itu merupakan hal lama yang sudah bisa ku atasi di tempatku dulu. Tetapi, kini datang lagi di tempat baruku. Ini benar-benar sangat melelahkan melihat orang lain harus menyalahkan yang lain saat mereka melakukan sesuatu hal yang salah karena ingin membela diri sendiri.

Aku ingat betul dulu kenapa aku memutuskan untuk berhenti berlaku menyalahkan orang lain ketika ada sesuatu hal yang terjadi. Seperti misalnya begini : "aku melakukan kesalahan kepada atasan, dan kesalahan tersebut terjadi karena teman mengatakan harus begini. Dan aku mengikuti perkataan temanku harus begini. Jadi, saat aku disalahkan atasan atas kerjaku itu, aku bilang pada atasanku kalau itu salahnya temanku yang memberitahu hal seperti itu." Nah, aku sudah putuskan untuk menghentikan hal tersebut, menyalahkan orang lain atas keputusan yang aku ambil. Meskipun mungkin sesekali tanpa sadar aku melakukannya, tetapi aku sudah berhenti untuk hal seperti itu untuk membela diri sendiri.

Keputusan ini aku buat ketika, dulu aku punya teman yang selalu melakukan hal itu. Maksudnya, menyalahkan orang lain ketika ada sebuah kesalahan yang mengikutsertakan dia. Aku selalu memerhatikan orang tersebut, dan rasanya tidak enak ketika aku melihat dia terus menerus melakukan itu. Aku memutuskan untuk tidak menegur dia, tetapi aku sendiri yang berusaha untuk tidak menjadi seperti dia. Karena melihatnya saja sudah tidak menyenangkan dan menjadi bagian dari orang yang dia salahkan tentu saja hal yang menyakitkan. Makanya, aku putuskan untuk tidak menjadi seperti dia.

Atau kasusnya seperti ini : Misalnya kita pergi ke sebuah tempat pilihanku, dan aku berangkat bersama teman tersebut, tetapi tempatnya ternyata tidak asyik. Dan temanku lantas bilang kepadaku "Ah, kamu sih pilih tempat ini, coba tadi kesana." Hal seperti itu juga merupakan hal yang benar-benar harus dihindari dalam sebuah hubungan dengan manusia.

Dan sedihnya, sekarang aku menemukan kembali lingkungan dimana orang-orang saling menyalahkan. Mereka membela diri sendiri dengan membawa-bawa nama orang lain ketika mereka salah, dan ended up orang lain yang salah, bukan introspeksi malah introspeksi diri.

Aku tidak tahu kenapa seperti itu, mungkin karena dulunya orang tua mereka sering menyalahkan katak ketika anak mereka terjatuh saat masih belajar berjalan.
Read more

30 Days Creatives #25 Pendidikan dari Bapak

Bapak adalah orang yang tidak bisa digantikan orang lain. Bukan dalam artian karena dia adalah bapakku sendiri. Tetapi, bapak memiliki jiwa yang berbeda dengan orang lain. Bapak adalah orang yang berani mengatakan tidak, jika ia tidak setuju. Dan berani mengatakan jangan, ketika ada hal-hal yang tidak ia senangi.

Begitupun dalam mengajarkan kami di rumah, bapak sangat strick dengan segala hal yang sifatnya tidak berguna. Seperti misalnya, bapak tidak pernah mengizinkan kami di rumah untuk nonton televisi sebelum shalat Isya. Pokoknya, tidak boleh nonton TV dari waktu Magrib ke Isya. Dan kami tidak pernah berani menyentuh remot untuk menghidupkan televisi.

Karena jarak dari rumah ke masjid hanya beberapa langkah, kami harus ke masjid setiap shalat magrib dan isya. Dan itu wajib, tidak ada kata tidak. Kemudian setelah magrib harus ngaji. Dan bapak adalah guru ngaji pertamaku. Dan karena dekat dengan masjid, bapak tidak pernah shalat di rumah. Ia selalu pergi ke masjid untuk mengimami shalat, ataupun munfarid.


Bapak sangat ketat dalam hal-hal ibadah. Kami juga tidak boleh menunda-nunda shalat. Pokoknya setelah adzan harus segera ke air mengambil wudhu. Kalau tidak, bapak akan menatap kami dengan tatapan yang serem, dan bikin kami ciut. Segeralah kami pergi ke air, untuk mengambil wudhu.
Tetapi, ternyata pengajaran itu sampai sekarang sangat melekat. Aku setiap ingin menonton TV setelah salat magrib, sebelum Isya, merasa bersalah dan merasa ada hal yang salah yang aku lakukan. Apalagi untuk masalah shalat tepat waktu, aku sampai sekarang selalu mempertahankan untuk solat tepat waktu. Karena selalu merasa bersalah ketika menunda shalat.

Pendidikan dari bapak dulu tidak pernah aku sadari sampai sejauh ini menemaniku. Dulu aku selalu kesal karena bapak yang terlalu strick pada anak-anaknya. Tetapi, aku sekarang tahu kenapa orang tua berlaku seperti itu. Karena memang pendidikan usia dini adalah hal yang paling penting diterapkan kepada anak-anak. Dan akan mempengaruhinya sampai ia beranjak dewasa.

Sehingga, ketika orang tua berfikir bahwa anak-anak mereka nakal. Shalat selalu ditunda-tunda dan bahkan tidak melakukannya. Seharusnya mereka berintrospeksi, sudahkan pendidikan di rumah benar?

Aku yakin itulah sebabnya pendidikan itu sangat penting bagi orang tua. Bapakku memang bukan lulusan universitas. Dia hanya lulusan SD. Tetapi dia belajar agama dengan serius. Dia mempelajari setiap hal dari kehidupannya. Jadi, maksudku berpendidikan bukan hanya pendidikan formal. Tetapi, bagaimana mereka bisa mengambil setiap hikmah dan pelajaran dari orang-orang sekitar dan peristiwa yang mereka temukan.

Aku menemukan bapak seperti itu. Dia bukan orang yang berpendidikan tinggi, tapi bisa membuatku melakukan hal-hal yang positif sampai sekarang aku dewasa. Yang ternyata, tidak banyak orang tua yang memiliki cara mendidik anak, seperti halnya bapakku.

Pendidikan orang tua adalah pendidikan yang utama bagi anak-anak. Hal ini membuat aku selalu berfikir keras untuk menentukan pasangan hidup. Di usiaku yang sudah tidak muda, aku tidak ingin buru-buru Karena usiaku. Dalam pandanganku, berumah tangga bukan hanya menjalin asmara dan meruntuhkan segala pandangan orang lain tentang perempuan yang sudah berumur dan belum menikah.

Karena bagiku, rumah merupakan tempat dimana anak-anak akan tumbuh dan berjalan di muka bumi mengemban amanah-amanah. Dari situ peran orang tua sangatlah penting. Jika pasanganku tidak bisa mendukungku untuk mendidik anak-anak, aku tidak akan bisa mengajarkannya sendirian. Karena ketidaksinergian dalam rumah tangga adalah kehancuran. Bukannya begitu?
Read more

30 Days Creatives #24 Buat Apa Aku Nulis?



Blog yang aku buat sebenernya udah lama, sekitar SMK tahun 2010-an aku udah mulai bikin blog. Cuma tulisan-tulisannya masih seputaran pelajaran di kelas atau hal-hal yang aku tahu aja. Beberapa memang ada curhatan. 

Terus aku juga nulis diary sewaktu SD. Aku gak nyaring apapun di diari itu, hingga akhirnya aku harus membakarnya karena takut ketahuan orang-orang (he-he). Aku bikin diari juga udah beberapa buku. Diari yang zamannya dulu itu yang ukurannya segi empat, kecil banget dan gambarnya lucu-lucu. Aku rutin nulis diari sejak saat itu.

Waktu SMK bacaanku adalah Novel ayat-ayat Cinta karya Kang Abik, yang waktu itu jadi novel yang sangat aku banggain dan pengen banget beli semua serinya. Seperti Ketika Cinta Bertasbih, dan yang lainnya. Selanjutnya, aku lebih kepincut dengan tulisan-tulisan Andrea Hirata dari Novel Laskar Pelangi. Kata-katanya yang luar biasa bikin aku bersemangat buat nulis. Terus gaya tulisannya juga lebih santai. Sampai sekarang aku masih menikmati karya-karya Andrea, terakhir aku baca novelnya yang berjudul entah Ayah entah Sirkus.

Hingga, sewaktu kuliah aku ternyata punya ketertarikan sendiri akan menulis. Aku ikutan beberapa komunitas menulis. Dan membuat ketertarikan aku sama nulis dan baca sangat tinggi waktu itu. Aku mulai rutin nulis di blog dan bikin diari dengan buku tebal-tebal. Sampai sekarang aku punya buku tebal untuk menulis dan belum habis.

Buku yang menurut aku sangat sastra pertama yang aku temukan waktu kuliah S1 semester pertama entah kedua, adalah bukunya Emha Ainun Nadjib, judulnya aku lupa. Mulai dari sana aku tertarik juga dengan karya-karya Emha Ainun Nadjib. Juga sewaktu di Bandung sering ikut kendurian di Kenduri Cinta dan di Bandung, Jamparing Asih.

Setelah itu, aku mulai juga suka dengan karya Pramoedya Ananta Toer karena Gus Dur merekomendasikan penulis favoritnya di salah satu bukunya. Aku mulai baca buku Pram yang tetralogy Bumi Manusia, yang menurutku sebagai sebuah novel, ia adalah novel sejarah yang tidak ada tandingannya. Karena itu aku juga jadi makin suka sama novel-novel sejarah, dan setiap ada karya Pram, aku usahakan beli.

Selanjutnya yang melekat di ingatan juga adalah karnya Eka Kurniawan. Dia tidak kalah keren dibandingkan dengan Pram. Karya-karyanya lebih nyastra, dengan alur cerita mundurnya yang sangat khas dan tidak mudah ditebak. Aku jug abaca beberapa novel Nano Riantiarno, yang ceritanya aku suka sekali, seperti salah satu judulnya Cermin Bening.

Tulisan-tulisanku juga mulai berubah. Ketika ikutan komunitas sastra di kampus, aku kenal beberapa orang penulis kampus yang suka bikin puisi atau tulisan lain. Dan mereka sangat inspiratif. Salah seorang yang aku ingat kata-katanya dan aku terapkan dalam tulisanku ketika dia bilang kita harus bisa melihat hal-hal kecil di sekitar untuk bisa menulis. Dari sana aku mulai senang memperhatikan hal-hal kecil dan aku jadikan tulisan. Dan memang dengan memerhatikan hal-hal kecil, tulisanku menjadi lebih hidup.

Sampai ke diari-diari aku menulis hal-hal detil seperti itu. Ceritanya memang ceritaku sehari-hari, perasaan-perasaanku yang bergejolak setiap hari dan hal-hal yang aku rasa sangat menarik setiap hari.
Tetapi, ternyata semakin kesini semangatku untuk menulis mulai perlahan memudar. Dan biasanya ketika semangat nulis lagi setelah baca novel. Mungkin hal ini penyebabnya karena aku jauh dari lingkungan orang-orang yang sudah kusebutkan tadi. Orang-orang yang memberikut motivasi untuk selalu berkarya. 

Dan yang luar biasanya, ketika sekarang aku baca-baca lagi tulisan yang dulu-dulu. Ada perasaan bangga dan bahagia kalau ternyata aku pernah punya perasaan seperti itu. Kalau ternyata aku pernah punya pemikiran yang begitu dan begini. Aku gak inget perasaan aku waktu itu, di hari ini. Tetapi, ketika aku baca lagi, semuanya indah. Mungkin itulah kenapa kita harus pandai-pandai menulis dan merekamkan jejak dengan tulisan.

Mungkin banyak orang yang merasa kalau foto adalah cerita abadi yang bisa menghantarkan tulisan, tapi bagiku tulisan lebih kuat. Karena ia mengandung banyak perasaan yang tidak terungkapkan melalui foto-foto atau hal lainnya. Tulisan adalah kenangan akan perasaan-perasaan yang sudah lapuk. Kenangan akan mimpi-mimpi yang tidak juga mewujud jadi.
Read more

30 Days Creatives #23 Menjadi Guru


`Tidak ingin menjadi guru` 

adalah kalimat yang sering kali aku ucapkan dulu sewaktu masih kuliah. Aku tidak ingin memilih berprofesi menjadi guru, karena kalau jadi guru aku harus bisa ngobrol panjang dengan anak-anak sekolah. Aku juga akan menjadi seorang yang stuck dengan satu hal tanpa bisa mengeksplore hal lain. Kira-kira begitulah  hal yang ada dalam fikiranku waktu itu. Aku sebisa mungkin harus menghindari profesi guru.

Tetapi, banyak hal yang kita tidak inginkan ternyata mewujud nyata. Dan sekarang, sudah beberapa bulan aku menjalani profesi sebagai guru di salah satu sekolah. Setiap hari dengan jadwal tertentu aku harus datang ke kelas dan menyapa anak didikku. Sebelumnya, malam hari atau beberapa hari sebelum mengajar aku harus menyiapkan materi terlebih dahulu. Agar bisa tampil maksimal di depan anak didikku.

Setiap hari sebelum berangkat sekolah aku dihinggapi rasa gugup, dengan beratus pertanyaan muncul di kepala. 

Bisakah aku tampil baik hari ini? 

Bisakah anak didikku paham materi yang aku berikan? 

Akankah mereka memberikan respon positif?

Beratus pertanyaan yang muncul di kepala terkadang juga menjadikan aku ciut untuk datang ke sekolah menghadapi mereka. Tetapi karena memang kewajiban dan tanggung jawab, aku tetap memberanikan diri untuk datang ke sekolah pagi-pagi. Membawa beberapa buku dan catatan yang sudah aku siapkan untuk dibawa ke kelas.

Saat di kelas, rasa gugupku hilang dengan sendirinya. Siapa lagi kalau bukan Tuhan yang menggerakan fikiran dan hatiku untuk bisa tenang. Aku seharusnya selalu bersyukur dengan hal tersebut.

Kemudian, aku banyak menyadari hal yang membuat guruku senang sewaktu di kelas. TIdak lain adalah respon dari siswaku. Baik itu senyuman, memperhatikan dengan seksama, menanggapi pertanyaanku, atau bertanya hal-hal yang mereka tidak pahami. Hal-hal seperti itu adalah hal yang membuatku merasa terus bersemangat di depan kelas saat pelajaran, dan bisa tersenyum saat keluar dari kelas.

Semudah itu kah membahagiakan seorang guru? Aku tidak akan pernah tahu, kalau aku tidak jadi guru saat ini.

Kemudian rasa bersalah dan sedih terjadi saat aku harus menghadapi anak didikku yang mulai ngantuk dan lelah, entah karena jam pelajaran terlalu banyak ataupun karena siang hari memang waktu yang tepat untuk menguap dan memejamkan mata sejenak. Rasa sedih, kesal, tiba-tiba bercampur menjadi rasa tidak percaya diri saat mengajar mereka. Aku yang memang bukan dari jurusan pendidikan, atau dari jurusan yang menangani tentang psikologi anak, tidak mudah menghadapi hal tersebut. Sehingga membuatku menjadi agak down dan fikiranku mulai tidak teratur. Yang akhirnya membuatku selalu merasa bersalah dan merasa selalu kurang maksimal saat keluar dari kelas. 

Ada rasa bangga ketika mereka memanggilku dengan sebutan Ibu. Atau saat mereka menyapa dan senyum kepadaku di luar kelas. Apakah ini sebabnya banyak orang yang ingin menjadi guru? Batinku.

Tulisan ini bukan refleksi hari guru atau hal lainnya. Hanya sebuah cerita sederhana dari seorang perempuan yang tiba-tiba sudah beranjak dewasa. Ketika kemarin masih terasa anak SMA, bermain dengan teman sebaya dan pergi kesana kemari tanpa ada beban. Ah, betapa cepat bumi ini berputar.

Read more

30 Days Creatives #22 Nikmati Pagi dengan Bersyukur


Aku sering lupa, bahwa setiap pagi adalah berkah yang tidak harus aku biarkan pergi begitu saja. Aroma pagi, adalah aroma yang sangat dirindukan orang-orang. Sejuknya embun, yang lewat ke hidung adalah sebuah nikmat yang tak terbatas.

Mandi di pagi hari, adalah rutinitas yang luar biasa menyegarkan. Setelah olah raga kecil, badan yang lelah setelah bangun tidur, dengan ribuan mimpi-mimpi tidur yang abu-abu dan membuat fikiran penuh dengan sesuatu yang hambar. Mengguyur badan dengan air akan membuat badan benar-benar seperti berada dalam dunia yang tidak pernah terjamah oleh kesedihan. Kesegaran yang Tuhan cipatakan lewat cipratan-cipratan air adalah kenikmatan sejati yang harus selalu disyukuri.

Senyum, adalah sebuah syukur yang tidak terucap. Tuhan akan tahu. Menyambut pagi dengan senyum adalah syukur tak terucap yang benar-benar Tuhan pahami.

 Kemudian, sarapan sederhana yang dibuat dengan hati yang damai, adalah manifestasi dari cinta Tuhan yang amat besar. Selamat pagi, semoga pagi kita senantiasa selalu damai dan menyegarkan. Mwah <3
Read more

30 Days Creatives #21 Pray For Surabaya



Hari minggu, 13 Mei 2018 beberapa hari lagi sebelum puasa, orang Indonesia kembali mendapati kabar duka. Kabar tersebut aku dapatkan tadi pagi dari status social media teman-teman sosmed. Hastagnya #PrayForSurabaya. Aku tidak tahu kalau hal inilah yang terjadi, aku kira bencana alam kembali datang. Tetapi bukan bencana alam, tetapi bencana kemanusiaan.

Aku mulai penasaran dan mencari informasi yang lebih rinci tentang hastag tersebut. Dan ternyata, pengeboman gereja kembali terjadi di kota Surabaya. Pertama aku merasa sakit hati sekaligus duka yang sangat mendalam di hati. Terlebih, ada beban akademis yang aku miliki terkait perdamaian agama-agama.

Bagaimana bisa orang-orang dengan mudahnya mengambil nyawa orang lain hanya karena ingin masuk surga? Bagaimana bisa dengan satu ayat saja mereka berani mengambil nyawa orang lain hanya karena dijanjikan surga untuknya. Doktrin egois macam apa yang membuat mereka memberanikan diri untuk serta merta menundukan kemanusiaannya hanya untuk mendapatkan surga? Dengan mudahnya, mencari satu ayat agar bisa menjadi alibi kekerasan dan kekejaman tersebut. 

Hari minggu, adalah hari sembahyangnya umat Kristiani. Semasa mahasiswa, aku pun sering berkunjung ke teman-teman di beberapa gereja di Bandung untuk studi lapangan. Dan saat aku datang ke gereja, betapa damai, seperti halnya masjid. Karena gereja adalah tempat dimana orang-orang biasa berkomunikasi dengan Tuhan, menyampaikan keluh kesah mereka kepada Tuhan.

Sehingga, ketika mendengar kabar bahwa pada hari minggu, dimana orang-orang yang di gereja sedang bersembahyang kepada Tuhannya. Sedang bersilaturahmi, menyampaikan pujian, meminta pertolongan kepada Tuhan, mendoakan kedamaian Indonesia, ada dari mereka yang serta merta mengganggu kekhidmatan silaturahmi hamba dengan Tuhannya. Aku hanya bertanya-tanya, sedang apa sebenarnya mereka?

Dalam Islam, menganggu orang yang sedang shalat adalah perbuatan dosa. Sekalipun ia hanya lewat di depan orang yang sedang shalat. Denda hukuman dari Tuhan adalah dilaknat malaikat selama empat puluh hari. Begitu yang aku dapatkan dari guruku, sewaktu mesantren.

Dari hal sederhana seperti itu, jika kita bisa mengaplikasikannya ke dalam kehidupan. Islam tidak pernah mengajarkan kita untuk mengganggu orang yang sedang sembahyang. Karena orang yang sedang bersembahyang adalah orang yang sedang bertemu dengan Tuhan. Cara manusia berkomunikasi dengan Tuhannya adalah dengan sembahyang. Lantas, jika manusia berani-beraninya mengganggu komunikasi manusia dengan Tuhannya apakah Tuhan gembira? Apakah Tuhan rela membuka pintu surga-Nya untuk orang seperti itu?

Dan orang yang bersembahyang, adalah orang yang Tuhan sayangi. Siapapun orang tersebut, apapun agamanya, jika orang tersebut memanggil Tuhan dalam kesehariannya, mereka adalah orang-orang yang beriman. Meskipun kita tahu kita berbeda dalam masalah pemahaman, tetapi semua agama akan mengatakan bahwa orang yang beriman adalah orang yang tidak pernah offline dengan Tuhannya. Dan Tuhan,akan melaknat orang-orang yang mengganggu keakraban, keromantisan hamba dengan Tuhannya.

Mayoritas orang Indonesia mengaku beragama, tetapi orang yang paham agama tidak sebanyak penganutnya. Mereka yang  pemahaman agamanya dangkal, mudah sekali mendapatkan doktrin dari luar. Artinya, mereka yang bodoh dan dangkal pemikirannyalah yang melahirkan kekerasan dan kekejaman.

Dengan begitu, banyak tugas yang masih harus kita kerjakan sebagai umat beragama, Apapun profesi yang kita ampu sekarang, pastikan untuk tahu agama kita dengan benar. Pastikan anak-anak, anak didik, teman-teman dan keluarga kita tidak terpengaruh dengan faham-faham radikal yang bisa memecah belah bangsa.

Para aktifis, para guru,  ulama, dan pemerintah, kita masih memiliki tugas yang sulit berkaitan dengan hal ini. Jadi, mari kita maksimalkan peran kita masing-masing di negara kita.

Sebagai pengajar, sebagai orang tua, tentu kita harus selalu mewaspadai pemahaman agama dari anak-anak agar tidak terjerumus kedalam faham radikal. Jangan sampai kekeluargaan kita dengan orang-orang Kristen, Budha, Hindu, dan agama lainnya rusak hanya karena orang-orang bodoh yang mengajarkan kekerasan kepada generasi muda dan ingin menghancurkan NKRI. Mari kita kerjakan PR masing-masing, mari kita lebih siaga dan memaksimalkan peran yang sedang kita ampu untuk menjaga negara kita.
Read more